Kamis, 13 Oktober 2016

Hukum Islam

MADINATULIMAN - Menghukumi sesuatu tidak bisa dilakukan hanya dengan satu ayat atau hadits saja. Demikian juga menetapkan hukum apakah itu wajib ataukah haram. Bahkan, tidak semua perintah atau larangan didalam Al-Qur’an maupun Hadits hanya jatuh pada hukum wajib dan haram, ada kalanya dihukumi sunnah atau hanya makruh.
 

Salah satu faidah dalam mengetahui hukum ini adalah berkaitan dengan dakwah itu sendiri, adakalanya harus bertindak tegas, ada kalanya harus bisa bersikap tolerir. Faidah lainnya terkait dengan bagaimana menyikapi sesuatu baru. Sesuatu yang baru, yang belum ditetapkan hukumnya maka harus kaji dahulu hukumnya, tidak serta merta dikatakan haram. Didalam syari’at, setidaknya ada 5 hukum syara’ yang disepakati oleh Jumhur Ulama yakni :
 
1. Wajib, kadang disebut Fardlu. Keduanya sinonim. Yakni sebuah tuntutan yang pasti (thalab jazm) untuk mengerjakan perbutan, apabila dikerjakan mendapatkan pahala, sedangkan bila ditinggalkan maka berdosa (mendapatkan siksa). Contohnya, shalat fardlu, bila mengerjakannya maka mendapatkan pahala, bila ditinggalkan akan diadzab di neraka, demikian juga dengan kewajiban-kewajiban yang lainnya. 
 
Wajib terbagi menjadi dua yakni : Pertama, wajib ‘Ainiy : kewajiban bagi setiap individu. Kedua, wajib Kifayah : kewajiban yang apabila sudah ada yang mengerjakannya maka yang lainnya gugur (tidak mendapatkan dosa), contohnya seperti shalat jenazah, tajhiz jenazah (mengurus jenazah), menjawab salam dan sebagainya.
 
Istilah Wajib juga ada yang mensinonimkan dengan Lazim. Sebagian ulama ada yang membedakan antara Fardlu dan Wajib hanya pada beberapa permasalahan di Bab Haji.
 
Ada juga yang membedakan antara Fardlu dan Wajib, seperti Hanafiyah. Menurut mereka, Fardlu adalah sesuatu yang telah ditetapkan dengan dalil syar’i (maqthu’ bih) dan tidak ada keraguan didalamnya, seperti shalat 5 waktu, zakat, puasa, haji, iman kepada Allah. Hukum Fardlu adalah lazim (wajib) baik secara keyakinan maupun perbuatan sehingga apabila mengingkari (secara keyakinan) pada salah satu kefardluan itu maka kafir, namun bila meninggalkan saja (tidak mengerjakannya, seperti shalat 5 waktu dan semacamnya) maka fasiq. Sedangkan Wajib adalah kewajiban yang ghairul fardl (selain fardlu), sesuatu yang ditetapkan dengan dalil namun masih ada kemungkinan ketidak pastian (hasil ijtihad), hukumnya lazim secara perbuatan saja, tidak secara keyakinan. Apabila mengingkarinya, tidak sampai kafir namun terjatuh dalam syubhat. Sedangkan bila meninggalkannya maka berdosa dengan dosa yang kadarnya lebih sedikit daripada meninggalkan perbuatan yang sifatnya Fardlu, sebab kalau meninggalkan yang bersifat Fardlu maka disiksa dineraka, sedangkan meninggalkan yang sifatnya Wajib, tidak disiksa di neraka, namun ia terhalang dari syafa’at Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alayhi wa Sallam.
 
Jumhur ulama tidak membedakan antara Fardlu dan Wajib, bahkan ada yang menyatakan bahwa pembedaan seperti itu tidak tepat dan tidak berarti apa-apa. 
 
2. Sunnah, disebut juga Mandub, Mustahabb, Tathawwu, Al-Nafl, Hasan dan Muragghab fih. Semuanya bersinonim. Yakni sebuah anjuran mengerjakan yang sifatnya tidak jazm (pasti), apabila dikerjakan mendapat pahala, namun apabila ditinggalkan tidak berdosa.
 
Sunnah juga terbagi menjadi 2, yaitu : Pertama, sunnah ‘Ain : sesuatu yang disunnahkan pada setiap orang (individu) yang mukallaf, seperti shalat-shalat sunnah ratibah dan lainnya. Kedua, sunnah Kifayah : sesuatu yang disunnahkan, apabila ada sebagian yang telah mengerjakannya, maka yang lain gugur, seperti seseorang memulai salam ketika bersama jama’ah (memulai bukan menjawab, penj), dan lain sebagainya. Sehingga bila sudah ada yang mengerjakannya, maka hilang (gugur) tuntutan terhadap yang lainnya, namun pahalanya bagi yang mengerjakan saja.
 
Sebagian ulama seperti Malikiyah membedakan antara istilah sunnah dan mandub. Sunnah menurut mereka adalah sebuah tuntutan syara’, bentuk perintahnya sangat ditekankan, namun tidak ada dalil yang mewajibkannya, apabila dikerjakan mendapat pahala, namun apabila ditinggalkan tidak disiksa, seperti shalat witir dan shalat hari raya. Sedangkan mandub adalah sebuah tuntutan syara’ yang tidak jazm (tidak pasti), bentuk perintahnya tidak terlalu ditekankan, apabila dikerjakan mendapat pahala, namun bila tidak dikerjakan tidak disiksa, contohnya didalam Malikiyah adalah shalat sunnah 4 raka’at sebelum dzuhur.
 
Selain itu, sunnah dari sisi tuntutannya, terbagi menjadi 2 yakni : sunnah Muakkad (sunnah yang sangat ditekankan) dan sunnah ghairu Muakkad (anjuran tidak terlalu ditekankan).
 
Sedangkan menurut Hanafiyah, ada perbedaan terkait sunnah Muakkad.  Menurut mereka, sunnah Muakkad, bentuknya kewajiban yang sempurna, jika meninggalkannya maka tetap berdosa, namun dosanya lebih sedikit daripada meninggalkan Fardlu (dibawah tingkatan Fardlu). Sedangkan sunnah ghairu Muakkad, menurut mereka adalah sejajar dengan Mandub dan Mustahab. 
 
3. Mubah, bila dikerjakan atau ditinggalkan tidak apa-apa, tidak mendapatkan pahala atau pun disiksa (sebuah pilihan antara mengerjakan atau tidak). Misalnya, memilih menu makanan dan sebagainya.
 
4. Makruh, yakni sebuah tuntutan yang tidak pasti (tidak jazm) untuk meninggalkan perbuatan tertentu (larangan mengerjakan yang sifatnya tidak pasti), apabila dikerjakan tidak apa-apa, namun bila ditinggalkan akan mendapatkan pahala dan dipuji. 
 
Menurut sebagian ulama, istilah Makruh ini ada yang menyatakan dengan Khilaful Aula (menyelisihi yang lebih utama). 
 
5. Haram, yakni tututan yang pasti untuk meninggalkan sesuatu, apabila dikerjakan oleh seorang mukallaf maka mendapatkan dosa, namun bila ditinggalkan mendapatkan pahala. Contohnya seperti minum khamr, berzina dan lain sebagainya. Istilah haram juga kadang menggunakan istilah Mahdzur (terlarang), Maksiat dan al-danb (berdosa).
 
Menurut Hanafiyah, istilah Haram adalah antonim dari Fardlu (mereka membedakan antara Fardlu dan Wajib). Ada juga istilah makruh Tahrim dan makruh Tanzih. Makruh Tahrim adalah sebuah istilah yang lebih dekat dengan Haram, serta merupakan kebalikan dari Wajib dan Sunnah Mu’akkad. Sedangkan istilah makruh Tanzih, tidak disiksa bila mengerjakannya dan mendapatkan pahala bila meninggalkannya. Istilah makruh Tanzih menurut Hanafiyah adalah kebalikan dari sunnah ghairu Muakkad.
 
Ulama juga ada yang kadang menyatakan dengan istilah Halal, itu adalah kebalikan dari Haram, namun masih ambigu, yaitu bisa hukum wajib, hukum mandub dan makruh. Bila meninggalkan perbuatan yang hukum wajib, maka berdosa. Adapun yang lainnya (mandub dan makruh) bila ditinggalkan ataupun dikerjakan tidaklah berdosa.
 
 
Wallahu A’lam []
Oleh : AR (Redaktur)

3 komentar:

  1. kalau wajib itu terbagi berapa macam yaa

    BalasHapus
  2. kalau makan pete itu termaksuk makruh bukan ya

    BalasHapus
    Balasan
    1. terma kasih untuk pertanyaan anda
      berikut pemaparan nya
      Dalam hukum islam memakan petai dan jengkol memang tidak dijelaskan. Namun hukum memakannya dapat disamakan dengan hadist yang menerangkan memakan bawang putih dan merah yang keduanya memiliki aroma yang menyengat tajam. Ada sebagian makanan atau minuman yang dilarang dalam agama, ada juga yang hanya makruh hukumnya dan ada juga yang Halalan Thoyyiban. Seperti jengkol dan petai ini. Sebenarnya kedua jenis makanan ini tidak pernah disebutkan dalam alqur’an dan hadist. Akan tetapi permasalahan jengkol dan petai, yang kadang meninggalkan bau di mulut ini sama halnya dengan bawang merah, bawang putih dan durian .
      terima kasih

      Hapus