Salah satu faidah dalam mengetahui hukum ini adalah berkaitan dengan
dakwah itu sendiri, adakalanya harus bertindak tegas, ada kalanya harus
bisa bersikap tolerir. Faidah lainnya terkait dengan bagaimana menyikapi
sesuatu baru. Sesuatu yang baru, yang belum ditetapkan hukumnya maka
harus kaji dahulu hukumnya, tidak serta merta dikatakan haram. Didalam
syari’at, setidaknya ada 5 hukum syara’ yang disepakati oleh Jumhur
Ulama yakni :
1. Wajib, kadang disebut Fardlu. Keduanya sinonim.
Yakni sebuah tuntutan yang pasti (thalab jazm) untuk mengerjakan
perbutan, apabila dikerjakan mendapatkan pahala, sedangkan bila
ditinggalkan maka berdosa (mendapatkan siksa). Contohnya, shalat fardlu,
bila mengerjakannya maka mendapatkan pahala, bila ditinggalkan akan
diadzab di neraka, demikian juga dengan kewajiban-kewajiban yang
lainnya.
Wajib terbagi menjadi dua yakni : Pertama, wajib ‘Ainiy : kewajiban
bagi setiap individu. Kedua, wajib Kifayah : kewajiban yang apabila
sudah ada yang mengerjakannya maka yang lainnya gugur (tidak mendapatkan
dosa), contohnya seperti shalat jenazah, tajhiz jenazah (mengurus
jenazah), menjawab salam dan sebagainya.
Istilah Wajib juga ada yang mensinonimkan dengan Lazim. Sebagian ulama
ada yang membedakan antara Fardlu dan Wajib hanya pada beberapa
permasalahan di Bab Haji.
Ada juga yang membedakan antara Fardlu dan Wajib, seperti Hanafiyah.
Menurut mereka, Fardlu adalah sesuatu yang telah ditetapkan dengan dalil
syar’i (maqthu’ bih) dan tidak ada keraguan didalamnya, seperti shalat 5
waktu, zakat, puasa, haji, iman kepada Allah. Hukum Fardlu adalah lazim
(wajib) baik secara keyakinan maupun perbuatan sehingga apabila
mengingkari (secara keyakinan) pada salah satu kefardluan itu maka
kafir, namun bila meninggalkan saja (tidak mengerjakannya, seperti
shalat 5 waktu dan semacamnya) maka fasiq. Sedangkan Wajib adalah
kewajiban yang ghairul fardl (selain fardlu), sesuatu yang ditetapkan
dengan dalil namun masih ada kemungkinan ketidak pastian (hasil
ijtihad), hukumnya lazim secara perbuatan saja, tidak secara keyakinan.
Apabila mengingkarinya, tidak sampai kafir namun terjatuh dalam syubhat.
Sedangkan bila meninggalkannya maka berdosa dengan dosa yang kadarnya
lebih sedikit daripada meninggalkan perbuatan yang sifatnya Fardlu,
sebab kalau meninggalkan yang bersifat Fardlu maka disiksa dineraka,
sedangkan meninggalkan yang sifatnya Wajib, tidak disiksa di neraka,
namun ia terhalang dari syafa’at Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alayhi wa
Sallam.
Jumhur ulama tidak membedakan antara Fardlu dan Wajib, bahkan ada yang
menyatakan bahwa pembedaan seperti itu tidak tepat dan tidak berarti
apa-apa.
2. Sunnah, disebut juga Mandub, Mustahabb, Tathawwu,
Al-Nafl, Hasan dan Muragghab fih. Semuanya bersinonim. Yakni sebuah
anjuran mengerjakan yang sifatnya tidak jazm (pasti), apabila dikerjakan
mendapat pahala, namun apabila ditinggalkan tidak berdosa.
Sunnah juga terbagi menjadi 2, yaitu : Pertama, sunnah ‘Ain : sesuatu
yang disunnahkan pada setiap orang (individu) yang mukallaf, seperti
shalat-shalat sunnah ratibah dan lainnya. Kedua, sunnah Kifayah :
sesuatu yang disunnahkan, apabila ada sebagian yang telah
mengerjakannya, maka yang lain gugur, seperti seseorang memulai salam
ketika bersama jama’ah (memulai bukan menjawab, penj), dan lain
sebagainya. Sehingga bila sudah ada yang mengerjakannya, maka hilang
(gugur) tuntutan terhadap yang lainnya, namun pahalanya bagi yang
mengerjakan saja.
Sebagian ulama seperti Malikiyah membedakan antara istilah sunnah dan
mandub. Sunnah menurut mereka adalah sebuah tuntutan syara’, bentuk
perintahnya sangat ditekankan, namun tidak ada dalil yang mewajibkannya,
apabila dikerjakan mendapat pahala, namun apabila ditinggalkan tidak
disiksa, seperti shalat witir dan shalat hari raya. Sedangkan mandub
adalah sebuah tuntutan syara’ yang tidak jazm (tidak pasti), bentuk
perintahnya tidak terlalu ditekankan, apabila dikerjakan mendapat
pahala, namun bila tidak dikerjakan tidak disiksa, contohnya didalam
Malikiyah adalah shalat sunnah 4 raka’at sebelum dzuhur.
Selain itu, sunnah dari sisi tuntutannya, terbagi menjadi 2 yakni :
sunnah Muakkad (sunnah yang sangat ditekankan) dan sunnah ghairu Muakkad
(anjuran tidak terlalu ditekankan).
Sedangkan menurut Hanafiyah, ada perbedaan terkait sunnah Muakkad.
Menurut mereka, sunnah Muakkad, bentuknya kewajiban yang sempurna, jika
meninggalkannya maka tetap berdosa, namun dosanya lebih sedikit
daripada meninggalkan Fardlu (dibawah tingkatan Fardlu). Sedangkan
sunnah ghairu Muakkad, menurut mereka adalah sejajar dengan Mandub dan
Mustahab.
3. Mubah, bila dikerjakan atau ditinggalkan tidak
apa-apa, tidak mendapatkan pahala atau pun disiksa (sebuah pilihan
antara mengerjakan atau tidak). Misalnya, memilih menu makanan dan
sebagainya.
4. Makruh, yakni sebuah tuntutan yang tidak pasti
(tidak jazm) untuk meninggalkan perbuatan tertentu (larangan mengerjakan
yang sifatnya tidak pasti), apabila dikerjakan tidak apa-apa, namun
bila ditinggalkan akan mendapatkan pahala dan dipuji.
Menurut sebagian ulama, istilah Makruh ini ada yang menyatakan dengan Khilaful Aula (menyelisihi yang lebih utama).
5. Haram, yakni tututan yang pasti untuk meninggalkan
sesuatu, apabila dikerjakan oleh seorang mukallaf maka mendapatkan dosa,
namun bila ditinggalkan mendapatkan pahala. Contohnya seperti minum
khamr, berzina dan lain sebagainya. Istilah haram juga kadang
menggunakan istilah Mahdzur (terlarang), Maksiat dan al-danb (berdosa).
Menurut Hanafiyah, istilah Haram adalah antonim dari Fardlu (mereka
membedakan antara Fardlu dan Wajib). Ada juga istilah makruh Tahrim dan
makruh Tanzih. Makruh Tahrim adalah sebuah istilah yang lebih dekat
dengan Haram, serta merupakan kebalikan dari Wajib dan Sunnah Mu’akkad.
Sedangkan istilah makruh Tanzih, tidak disiksa bila mengerjakannya dan
mendapatkan pahala bila meninggalkannya. Istilah makruh Tanzih menurut
Hanafiyah adalah kebalikan dari sunnah ghairu Muakkad.
Ulama juga ada yang kadang menyatakan dengan istilah Halal, itu adalah
kebalikan dari Haram, namun masih ambigu, yaitu bisa hukum wajib, hukum
mandub dan makruh. Bila meninggalkan perbuatan yang hukum wajib, maka
berdosa. Adapun yang lainnya (mandub dan makruh) bila ditinggalkan
ataupun dikerjakan tidaklah berdosa.
Wallahu A’lam []
Oleh : AR (Redaktur)
Oleh : AR (Redaktur)
kalau wajib itu terbagi berapa macam yaa
BalasHapuskalau makan pete itu termaksuk makruh bukan ya
BalasHapusterma kasih untuk pertanyaan anda
Hapusberikut pemaparan nya
Dalam hukum islam memakan petai dan jengkol memang tidak dijelaskan. Namun hukum memakannya dapat disamakan dengan hadist yang menerangkan memakan bawang putih dan merah yang keduanya memiliki aroma yang menyengat tajam. Ada sebagian makanan atau minuman yang dilarang dalam agama, ada juga yang hanya makruh hukumnya dan ada juga yang Halalan Thoyyiban. Seperti jengkol dan petai ini. Sebenarnya kedua jenis makanan ini tidak pernah disebutkan dalam alqur’an dan hadist. Akan tetapi permasalahan jengkol dan petai, yang kadang meninggalkan bau di mulut ini sama halnya dengan bawang merah, bawang putih dan durian .
terima kasih